PENJELASAN TENTANG MAKNA NASH, DZAHIR, MUFASSAR, DAN MUHKAM
A. Dzahir
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa
dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah
lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau
menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya.
[1]
Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz
yang menunjukkan makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan
dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks
kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil. Al Amidy memberikan definisi:
Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud berdasarkan
apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada
kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang
lemah. Qodhi Abi Ya’la merumuskan
definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua makna , namun salah satu
diantara keduanya lebih jelas. Definisi yang tampaknya lebih sempurna
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : lafadz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz lain,
tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk
ditakwilkan.[2]
Contoh
dzahir adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS Al-Baqarah:275)[3]
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan
jual beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu qorinah akan
tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan riba sebagai
bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli dan
riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya (
asbabun nuzul).
Contoh lain, Allah
berfirman :
وَمَآءَاتَىٰكُمُٱلرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.” (QS. Al Hasyr : 7)
Dhahir dalam ayat tersebut adalah kewajiban untuk taat kepada Rasul
terhadap segala yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.[4]
B.
Nash
Al-Nash ialah
suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan terdapat
kemungkinan untuk dita’wil dan ditakhshis serta tidak dapat dinasakh kecuali
pada masa Nabi.[5]
Sedangkan
menurut Imam Jarjani, al-Nash ialah suatu lafal yang lebih jelas maknanya atau
pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat dipahami dari susunan
atau ungkapan kalimatnya.[6]
Adapun Syaikh Abdul Karim Zaidan menambahkan dalam kitabnya “Al Wajiz” adalah
lafadz makna asli dari konteks ayat, sebagai contoh hampir sama dengan dzahir.
Namun juga mewarnai dengan konteks ayat dan faktor “khoriji” (luar) lainnya
yang mempengaruhi makna. Contoh, firman Allah :
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS Al-Baqarah:275)
Dalam lafadzdhahirnya Allah halalkan jual beli dan haramkan riba, adapun
maksud asli dari konteks ayat adalah menyanggah orang-orang kafir yang
mengatakan, bahwa jual beli sama dengan riba.[7]
Bahwasannya
dalam nash lebih jelas penjabaran maknanya daripada dhahir karena dalam nash
adalah maksud asli dari sebuah lafadz sedangkan dzahir adalah makna yang
berkaitan dengan teksnya dan bukanlah maksud asli dari konteks kalam. Dan di
dalam nash, bisa lebih jauh ditakwilkan daripada dzahir, maka dari itu dari
sudut pandang kerajihannya lebih berat kepada nash[8]
Meskipun
berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan
pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada
dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir
bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu
makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna
yang lainnya yang tidak langsung. Juga kemungkinan nash mengandung takwil,
takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila
terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka
didahulukan yang nash.
C.
Mufassar
Dengan
ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari
dua lafadz sebelumnya. secara bahasa kata mufassar (الـمـفـسـر) berasal dari kata “ فـسـر” yang berarti “terang, menerangkan atau jelas. Adapun secara
istilah sebagaimana dijelaskan oleh SyaikhAbdul Karim Zaidan. Mufassar ialah
lafal yang pengertian / maknanya lebih jelas dari al-nash dan kejelasan
maknanya itu ditunjukkan oleh lafal itu sendiri. Mufassar tidak dapat
ditakwilkan atau dialihkan artinya kepada arti lainnya. [9]
Selanjutnya
Syaikh Abdul Wahab Khalaf juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mufassar
ialah suatu lafal dengan shifatnya sendiri menunjukkan kepada makna yang jelas
dan rinci sehingga tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain.[10]
Adapun Amir
Syarifuddin mendefinisikan mufassar sebagai suatu lafal yang dapat diketahui
maknanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan keterangan (qarinah) untuk
menafsirkannya. [11]
Dari pengertian
di atas dapat dipahami bahwa mufassar itu suatu lafal yang jelas dan lebih
jelas dari dua macam bentuk lafal sebelumnya. Kejelasan lafal mufassar itu
dapat dilihat atau ditandai oleh beberapa indikator atau dapat diketahui dengan
cirri-ciri sebagai berikut ;
a.
Penunjukkannya terdapat maknanya jelas sekali.
b.
Penunjukkannya itu hanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan
qorînah (penjelasan) dari luar.
c.
Karena jelas dan rinci maknanya, maka ia tidak mungkin ditakwilkan.[12]
Mufassar ini ada dua macam :
Pertama, menurut asalnya lafadz itu memang sudah jelas dan rinci, Sehingga
tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misalnya firman Allah yang terdapat dalam
surat al-Nur / 24 ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut ;
والذ ين يـرمون المحـصـنـا ت ثـم لـم يـأ تـوا بـاربعـة شـهـداء
فاجــلـد وهـم ثـما نـيـن جلـدة
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat
zina), kemudian mereka tidak dapat mendatangkah saksi, maka deralah (pukul)
mereka sebanyak delapan puluh kali…”
Bilangan dalam ayat di atas jelas dan rinci yaitu “delapan puluh
kali” dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari
bilangan itu.
Kedua,
lafadz itu belum jelas (ijmal) dan
memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Lantas ada dalil lain
menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Sebagai contoh dapat dilihat
pada surat An-Nisa’ ayat 92 berikut ini :
من
قــتـل مؤمـنـا خـطا فـتحـريـررقـبـة ود يـةمـسـلمـةالى أهـلـه.
“Orang-orang
yang membunuh orang beriman secara tak sengaja, hendaklah ia memerdekakan
budak/hamba sahaya dan menyerahkan diat kepada keluarganya.”
Ayat ini
berbicara tentang kewajiban membayar / menyerahkan diyat (denda) kepada
keluarga korban yang dibunuh, tetapi tidak dijelaskan berapa jumlahnya, bentuk
dan macam diyat yang harus diserahkan. Setelah ayat ini turun, datang
penjelasan dari Nabi dalam sunnahnya yang merinci keadaan dan cara membayar
diyat itu, sehingga ayat di atas menjadi rinci dan jelas artinya.
Amir
Syarifuddin, menjelaskan bahwa lafal mufassar ini dari segi penunjukkannya
terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafal nash dan lafal zâhir,
karena lafalnya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi
tafsirannya yang rinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin ditakwilkan,
karena apa yang dituju menjadi terang.
Karena mufassar lebih kuat dari nash dan
zâhir, maka bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka yang harus
didahulukan adalah mufassar. Hukum mengamalkan lafal mufassar adalah wajib,
karena ia telah rinci dan sangat terang dan tidak mungkin dialihkan kepada
pengertian lain. [13]
D.
Muhkam
Secara
etimologis muhkam (الـمـحـكـم)
berarti “tepat”, tetap dan pasti. Adapun secara terminologis, Syaikh Abu Zahrah
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam ialah suatu lafal yang
menunjukkan kepada pengertian yang jelas dengan tidak menerima takwil dan
takhshis.[14]
Syaikh Abdul
Karim Zaidan mendefinisikan muhkam ialah suatu lafal yang sangat jelas
dilalahnya yang ditunujukkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat ditakwil
dan dinasakh.[15]
Sementara itu
WahbahZuhaili menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam ialah lafal nash
yang dengan shighatnya sendiri menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan
tidak ada kemungkinan untuk ditakwil, ditakhshis dan
dinasakh.[16]
Lafal muhkam
berada pada urutan yang paling tinggi dari segi kejelasannya, jika dibandingkan
dengan ketiga bentuk lafal sebelumnya yaitu; zâhir, nash dan mufassar. Bila diurutkan
tingkat kejelasannya. [17]
maka muhkam dan mufassar lebih jelas dari pada nash serta nash lebih jelas dari
zahir. Dengan demikian muhkam merupakan lafal nash yang paling jelas dari semua
tingkatan sebelumnya.
Sebagai
contohnya adalah wajibnya mengesakan Allah seperti termaktub dalam surat
Al-Ikhlas, berikut ini.
قـل
هـوالله أحـد ( ١) الله الـصـمـد(٢) لـم يـلـد ولـم يـولـد(٣) ولـم يـكـن لـه
كـفـوا احـد
“Katakanlah Dia
Allah yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
diperanakan. Dan tiada sesuatupun yang menyerupai Allah.”
Ayat ini
menjelaskan ketetapan pasti tentang iman dan mengesakan Allah yang merupakan
ketetapan pasti yang berlaku sepanjang zaman, tidak dapat ditakwilkan,
di-takhshis serta di-nasakh dan dibatalkan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dzahir
secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa
ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan
qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan
hanya mendengarkan bunyi lafadnya.
Nash
adalah : lafadz yang mempunyai derajat
kejelasan diatasdzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim,
ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks,
mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Mufassar
adalah lafadh yang menunjukan terhadap makna jelas sekali, Penunjukannya itu
hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar. Karena terang dan
jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.
Muhkam
adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan
untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya
takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan
bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh.
Daftar
Pustaka
Al
Qur’anul Karim
Zahrah,
Abu, 1958, Ushûl al-Fiqh, Mesir ; Dar al-Fikr al-araby
Zaidan,
Abdul Karim, 1977, Al-WajizFîUshul al-Fiqh. Bagdad
Zuhaili,
Wahbah, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz I, Siria – Damaskus; Dar al-Fikr, Cet. I
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh, Jilid II, Logos Wacana Ilmu, Cet. II.
Sya’ban,
Zakiyuddin, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir, Matba’ah Dar al-Ta’lif
http://dikduff.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ushul-fiqh-zhahir-nash-mufassar.html
[1]Abu Zahrah, UshulFiqih, darulfikr. Hal 121.
[2]Ibid
[4]Ibid
[5]WahbahZuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz I, Siria – Damaskus; Dar
al-Fikr, Cet. I, halaman 319
[6]Muhammad al-Jurjani, t.t., Kitab al-Ta’rifāt. Singapore - Jeddah ;
al-Haromaīn, halaman 241
[7] Abdul Karim Zaidan, Al WajizfiUshulil Fiqh. Ar risalah. Beirut. Hal.
338
[8] Ibid
[9]Abdul Karim Zaidan, Al WajizfiUshulil Fiqh. Ar risalah. Beirut. Hal.
343
[10] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir, Matba’ah Dar
al-Ta’lif, halaman 341.
[11] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, Jilid II, Logos Wacana Ilmu, Cet. II,
halaman 9.
[12] Ibid
[13] Ibid
[14]Abu Zahrah, 1958, Ushûl al-Fiqh, Mesir ; Dar al-Fikr al-araby, halaman
123.
[15]Abdul Karim Zaidan, 1977, Al-WajizFîUshul al-Fiqh. Bagdad, hal 349.
[16]WahbahZuhaili, Ushul al-Fiqhal-Islami,Dar al-Fikri. hal 323
[17] Ibid 324
Ini pembagian dilalah Al-Qur'an ya min?
BalasHapus